Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat ✈.
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di in HB kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi ☕.
Di depan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan.
Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.
Mau pergi ke jkt,
Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke singapura
Kalau boleh, mau menanyakan, ada keperluan apa ibu pergi ke singapura?
Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat .
Puteranya kerja dimana, bu?
Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang kadi kepala kantor cabang singapura
Berapa anak ibu semuanya?
Anak saya ada 4 nak, 3 laki2, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki2, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya
Kalau anak sulung?
Dia petani, nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana spt adik-adiknya.
Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana
Saya merenung :
Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat.
Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa amal-ibadah kita.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku... 😭
*Cerita Prof Dr Ravik Karsidi (Rektor UNS).
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di in HB kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi ☕.
Di depan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan.
Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap.
Mau pergi ke jkt,
Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke singapura
Kalau boleh, mau menanyakan, ada keperluan apa ibu pergi ke singapura?
Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat .
Puteranya kerja dimana, bu?
Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang kadi kepala kantor cabang singapura
Berapa anak ibu semuanya?
Anak saya ada 4 nak, 3 laki2, 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki2, dosen fakultas ekonomi UGM, sekarang lagi ambil program doktor di Amerika. Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak. Suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya
Kalau anak sulung?
Dia petani, nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya
Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu. Kok tidak sarjana spt adik-adiknya.
Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana
Saya merenung :
Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat.
Allah tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa amal-ibadah kita.
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku... 😭
*Cerita Prof Dr Ravik Karsidi (Rektor UNS).
Comments
Post a Comment