Nama: Andriani Shintya Ardhana
NIM: 1701315440
Kebebasan dalam memilih keyakinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dimiliki oleh seluruh masyarakat dan bagi Indonesia yang telah mengklaim sebagai negara demokratis, seharusnya isu-isu tentang pelanggaran HAM sudah tidak terjadi lagi. Dalam konteks kebebasan beragama, masalah pendefinisian agama dan bukan agama menjadi "kewenangan" dan hak pemeluk atau pengikutnya. Negara tidak berhak mengintervensi. Negara juga tidak dapat mengatakan sekte atau gerakan tertentu sesat atau tidak. (http://www.wahidinstitute.org/wi-id/images/upload/dokumen/laporan_kbb_2013_wi.pdf)
Dari website itu juga, tindakan intoleransi maupun diskriminasi dengan menghalangi seseorang dalam memilih kebebasannya, dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran (violation) terhadap HAM dan hal tersebut diuraikan secara terperinci dalam berbagai persetujuan Internasional tentang HAM. Negara-negara yang menyetujui perjanjian ini diwajibkan untuk membuat regulasi domestik untuk meminimalisir aksi-aksi tersebut, termasuk Indonesia.
Dalam penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa peringkat pertama pelaku pelanggaran yang dilakukan oleh negara yaitu pemerintah kabupaten/kota sebanyak 32 kasus, lalu diperingkat kedua yaitu aparat kepolisian dengan 30 kasus. Hal tersebut membuat pertanyaan-pertanyaan muncul di kalangan masyarakat. Bagaimana bisa aparat keamanan negara yang masyarakat percaya untuk melindungi seluruh masyarakatnya malah melakukan pelanggaran HAM? Dan dalam 5 tahun terakhir, total jumlah kasus pelanggaran beragama di Indonesia berjumlah 1095 kasus dan kasus yang terjadi pun berkaitan dengan kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak asasi masyarakatnya.
Undang-undang mewajibkan pejabat dan penyelenggara negara menunaikan tugas "tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan". Hal tersebut yang seharusnya dipegang teguh untuk melindungi hak yang dimiliki masyarakat. Namun yang masih saja terjadi adalah aparat kepolisian masih membeda-bedakan ras/agama dan akibatnya yaitu memicu konflik antar masyarakat yang saling memperdebatkan agama mereka padahal seharusnya agama menjadi pedoman hidup bagi seluruh masyarakat untuk saling hidup dalam kedamaian, tanpa harus mempersoalkan agama mereka, dan dimata Tuhan pun semua manusia itu sama. Perbedaan pandangan dan tingkat keegoisan masyarakat juga masih relatif tinggi dengan tingkat pendidikan yang juga masih relatif rendah dapat menimbulkan konflik.
Menurut saya, kita sebagai masyarakat generasi Y harus memiliki pemikiran yang lebih terbuka, apalagi dengan adanya globalisasi pada saat ini. Dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan juga sangat membantu dan mulai untuk memperlakukan semua orang itu sama hak nya walaupun dengan agama/ras yang berbeda. Meningkatkan self-awareness, sebelum kita melakukan sesuatu, kita juga harus berfikir dengan kacamata orang lain yang akan melihat/menilai apa yang kita lakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung dengan konflik.
Comments
Post a Comment